Salam Redaksi

Puji syukur alhamdulilah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karuniaNya kepada kita semua sehingga untuk pertama kali OSIS SMA N I Wiradesa dapat menerbitkan majalah sekolah yang diberi nama “HIGH”
HIGH muncul atas dasar sebuah harapan besar akan tingginya cita-cita siswa-siswi SMA N I Wiradesa. Nama yang sebenarnya juga diambil dari kata honest, interesting, good dan hits ini diharapkan mampu menjadi wadah kreatifitas siswa, berbagi informasi, maupun wadah guna menampug ide dan pendapat dari, oleh, dan untuk semua warga SMA Negeri I Wiradesa khususnya para siswa.
Kami menyadari bahwa penerbitan perdana majalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami dan segenap Redaktur Majalah HIGH mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Demi keberhasilan majalah ini, kami mengharap adanya kritik serta saran yang bersifat membangun dari semua pihak sehingga kedepan kami dapat menyajikan HIGH dengan lebih baik lagi.
Akhir kata, kami sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan berperan dalam penerbitan majalah ini. Semoga dapat bermanfaat untuk kita semua, seluruh warga SMA I Wiradesa. Amin.

Jumat, 03 Februari 2012

Membangun moral dan membentuk manusia yang bermartabat ,berakhlak dan berbudi pekerti luhur

Pendahuluan.
    Memasuki era globalisasi, perkembangan teknologi sangat pesat, system komunikasi dan informasi semakin canggih, luas dan cepat penyebarannya. Perubahan dan pergeseran terhadap tata nilai, paradigma , pola dan gaya hidup manusia di dalam masyarakat membawa akibat yang sangat serius, terutama di kalangan para remaja.

    Ibarat pisau yang bermata dua, disamping kemajuan yang diperoleh dan kemudahan-kemudahan yang didapat, maka efek samping  dan dampak negatifnya telah terjadi di negeri kita ini. Di satu sisi membawa kemajuan  bagi generasi  penerus, yang menjadi harapan bangsa dan negara, di sisi lain efek negative  dari kemajuan  itu telah mendatangkan kekacuan dan  eforia karena mereka tidak siap dengan perubahan tata social dan nilai-nilai serta norma-norma social yang berlaku. Padahal para remaja itulah yang akan menggantikan generasi sekarang dalam mengelola, memimpin  dan memajukan bangsa dan Negara ini

              Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka generasi penerus bangsa Indonesia ini hendaknya agar dapat ditingkatkan  martabat, moral dan pendidikannya agar dapat tumbuh kembang menjadi menusia yang berbudi luhur, berkualitas, berkepribadian baik, welas asih, sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yang berbobot, cerdas, arif dan bijaksana.Dengan demikian maka dapat diharapkan Negara dan bangsa akan maju dan sejahtera. Namun apakah yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sekarang ini ? Masih adakah harapan itu semua ?
            Sejalan dengan perkembangan jaman, akhir-akhir ini jelas nampak bahwa kenakalan remaja sudah meningkat sampai melampui batas-batas kewajaran dan menjurus ke a rah tindak pidana. Banyak para remaja yang bertindak anti social, antara lain mabuk-mabukan, perkelahian, tawuran, pencurian, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, penyalahgunaan narkoba, free sex, perbuatan asusila , sampai dengan terjadinya penularan penyakit HIV/AIDS yang mematikan itu.

            Bahkan akhir-akhir ini tidak sedikit pula para remaja yang ikut-ikutan berdemonstrasi tanpa mengetahui apa tujuannya, melakukan tindakan-tindakan yang bersifat kontra produktif, seperti pengrusakan fasilitas umum, pembakaran rumah atau kantor-kantor dinas milik pemerintah dan lain-lain tindakan yang sangat vulgar dan arogan. Sungguh menjadi tontonan yang kurang baik dan sangat memalukan serta memilukan.
            Kalau kejadian ini dibiarkan terus, lalu bagaimana hari depan dan nasib bangsa Indonesia ini ? Maka sebelum segala sesuatunya menjadi lebih parah , hendaknya ada kesadaran dari semua pihak , untuk melakukan tindakan  agar generasi penerus ini tidak menjadi lebih terpuruk. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang harus kita lakukan sekarang untuk menyelamatkan generasi penerus ini ?
             Permasalahan ini bukanlah persoalan yang mudah untuk diatasi. perlu ada kesadaran yang tinggi, kemauan dan kepedulian dari semua pihak. Selanjutnya perlu ada kerjasama secara padu  dengan seluruh komponen bangsa seperti, pemerintah, lembaga pendidikan dan masyarakat itu sendiri. 
    Mengingat bahwa keluarga adalah tempat anak berasal dan tempat dimana anak mengalami pendidikan awal, maka hendaknya pembentukan kepribadian  anak dimulai dari keluarga. Permasalahan mengatasi kenakalan anak/remaja dan pencegahnnya hendaknya diawali sedini mungkin oleh keluarga. . Untuk kepentingan itu perlu diberikan informasi  pada orang tua dan calon orang tua serta para pendidik agar dapat memberikan bekal yang berupa pendidikan keluarga dan tata krama, serta pembentukan karakter pada anak-anak dan remaja, sehingga anak-anak dapat tumbuh kembang menjadi manusia susila yang berkualitas, bermoral dan berbobot. Untuk mencapai  tujuan itulah maka tulisan ini dibuat, mudah-mudahan dapat bermanfaat.

Mengenali remaja dengan segala problematikanya.

           Setelah melewati waktu kurang lebih selama Sembilan tahun ( di SD dan SMP ) dan bersamaan dengan berjalannya waktu, maka anak telah melewati fase akhil baliqnya dan mencapai masa remaja awal. Dalam hal studi juga sudah memasuki jenjang pendidikan tingkat seperempat terakhir tingkat sekolah menengah. Semua pengalaman yang diperoleh selama Sembilan tahun terakhir adalah fondasi bagi studi tingkat sekolah menengah ini. Demikian juga dengan pembentukan kepribadiaannya, sehingga apa yang akan diperoleh di fase ini merupakan penyempurnaan dari  pembentukan fondasi untuk menempuh kehidupannya di masa-masa mendatang.
    Disaat ini anak perlu diberi bekal moral dan mental yang lebih berkualitas, berbobot dan komprehensif, sebagai bekal untuk melanjutkan perjuangannya di tahap akhir dari fase ini, sehingga dalam memasuki masa remaja awal anak sudah lebih siap dan mantab dalam menentukan langkah-langkahnya
    Untuk memasuki dunia remaja ini antara lain anak memerlukan bekal-bekal, seperti :
  1. Meningkatkan kecerdasan spiritual, emosional, moral dan social. Meningkatkan tata krama social, kejujuran, disiplin, dan budi pekertinya.
  2. Meningkatkan keberanian , asertivitas dan ketabahan.
  3. Meningkatkan keuletan, kesabaran dan kerja keras.
  4. Mengenal cara problem coping, menghadapi kesulitan.
  5. Menghadapi dan menangani frustrasi.
  6. Meningkatkan toleransi terhadap frustrasi.
Dengan mempunyai dasar pengertian untuk menghadapi masalah, maka remaja akan dapat lebih meningkatkan diri dengan mengembangkan bekal yang diperoleh saat di sekolah menengah atau masa remaja awal.

Problem coping :
             Remaja perlu diajarkan cara menghadapi kesulitan dan menyelesaikannya , biasanya diistilahkan  dengan coping . Jadi coping berarti mengatasi masalah/problem, misalnya ban sepeda motornya bocor dan gembes, , maka coping yang dilakukan adalah menambal ban yang bocor atau menggantinya dengan  ban yang baru, sehingga perjalanan  dapat dilanjutkan. Tindakan ini adalah langkah efektif mengatasi problem  yang dihadapi. Pada kasus ini disebut problem –focused-coping.
           Bila masalah yang dihadapi adalah kematian orang dekatnya, atau mengalami kesedihan, dan guna menghilangkan kesedihannya itu ia membaca buku atau mencari makanan yang enak-enak dan mendengarkan music agar hilang kesedihannya itu, maka coping semacam ini disebut emotional-focused-coping.
           Bila seseorang menghadapi masalah yang tidak dapat diatasi atau problem-focused-coping-nya gagal, maka ia dapat melakukan emotional-focused-coping   demi menghilangkan stress, kecemasan dan ketegangannya. Contoh: seseorang yang mengalami kegagalan dalam ujian, ia merasa sangat sedih, malu dan menjadi stress. Maka ia mencoba menghadapi Guru/Dosen untuk minta dispensasi untuk memperbaiki nilainya, dalam hal ini ia mencoba menyelesaikan masalahnya, dengan model problem-focused-solving . Namun permohonannya ditolak, tentu ia semakin sedih dan stresnya bertambah parah. Oleh teman yang sama-sama tidak lulus dinasehatkan untuk tidak perlu merasa malu dan stress, agar tidak sampai sakit, dan mau menerima bahwa kegagalan itu  sebagai awal dari keberhasilan lalu diajak belajar bersama sambil mencari hiburan dengan makan-makan, dan mendengarkan music, sehingga rasa sedihnya berkurang dan akhirnya perasaannya tidak sedih lagi dan mau belajar sambil menunggu ujian berikutnya. Strategi inilah yang disebut emosional-focused-coping.
           Selain tiga strategi utama tersebut, dalam melaksanakan coping , masih ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain :
  • Confrontive coping , yaitu menghadapi keadaan dengan agresif dan bersikap keras atau marah untuk mengubah situasi (marah).
  • Distancing, yaitu menghindar atau membatasi diri dengan sadar guna membuat jarak dengan permasalahan yang dihadapi (penolakan).
  • Self controlling , yaitu berusaha untuk mengatur perasaan diri sendiri dan tindakan yang akan diambil.
  • Seeking social support, yaitu berusaha untuk mencari dukungan informasi, dukungan nyata dan dukungan emosi.
  • Accepting Responsibility, yaitu mengakui peran dirinya dalam persoalan dengan tema yang sesuai dan memperbaiki keadaan (penerimaan).
  • Escape-Avoidance, menjelaskan keinginan dan usaha untuk menghindar atau melepaskan  diri dari problem (tawar-menawar).
  • Planful Problem Solving, yaitu dengan sengaja menjelaskan mengenai usahanya untuk mengubah keadaan , menggabung dengan pendekatan analisa untuk menyelesaikan masalah (penerimaan).
  • Positive Reapprisal, yaitu menjelaskan mengenai usahanya untuk  maksud positif dengan memfokuskan pada pengembangan diri, biasanya sehubungan dengan dimensi religi.

Sedangkan untuk masalah yang menyangkut   rasa sedih atau duka cita, menurut Elisabeth Kubler – Ross, untuk coping ada lima tahapan yang disebut Five  Stage of Griel , yaitu :
  • Denial : “Itu tak mungkin terjadi” Tidak mau menerima kenyataan itu.
  • Anger : “Mengapa aku harus mengalami ? Ini tidak adil” Merasakan ketidakadilan dan menyalahkan orang lain atau sesuatu hal atas kejadian ini.
  • Bargaining : “Biarkanlah aku hidup untuk dapat melihat anak-anakku diwisuda” Bernegosiasi untuk mendapatkan yang baik, ini memerlukan waktu.
  • Depression : “Aku sangat sedih, mengapa harus mempedulikan hal-hal lain?” Bersikap putus asa.
  • Acceptance : “Ya sudahlah semuanya akan menjadi baik” Mengakui dan mengerti serta mau menerima masalahnya yang dapat atau tidak dapat diubah  dan berjalan terus.

Khusus dalam masalah yang terkait dengan emosi, apakah itu problem yang menimbulkan rasa kehilangan , kesedihan, kemarahan, kekecewaan, penyesalan, sehingga untuk mengatasinya memerlukan  emosional-focused-coping. Maka perlu adanya penguatan diri dengan meningkatkan resiliency/ ketabahan hati. Dengan adanya ketabahan hati biasanya  individu lebih mampu untuk berpikir jernih dan penalaran lebih baik , sehingga akhirnya mampu menyelasikan persoalannya dengan emosional-ficused-coping.

Frustrasi.

    Frustrasi adalah reaksi emosi sebagai respon  dari kegagalan untuk memperoleh keinginannya atau obyek yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan. Atau perasaan tak nyaman yang disebabkan karena mengalami hambatan untuk mencapai yang diinginkan.
    Penyebab terjadinya frustrasi  dapat berupa factor internal atau factor eksternal. Faktor internal ini dapat timbul karena adanya hambatan pribadi antara lain karena kurang rasa percaya diri, takut terhadap situasi social. Dapat juga dengan adanya keterkaitan pihak luar yang menjadi pesaing atau penghambat dalam mencapai tujuan atau mendapatkan yang diinginkan. Faktor eksternal adalah kondisi di luar individu, di luar batas kemampuan individu untuk mengatasi. 
    Gejala frustrasi dapat dilihat dari perilaku dalam merespon problem, dan dapat dilihat dari efek-efek yang terjadi. Kesemua ini tergantung dari kesehatan  mental individu yang mengalami frustrasi. Frustrasi menyebabkan terjadinya keputusasaan dan dapat pula terjadi penyimpangan. Dapat juga karena frustrasi menjadi pemarah atau terobsesi bahkan ada yang menjadi penyalah gunaan narkoba

Cara mengatasi frutrasi.
            Untuk mengatasi frustrasi, diperlukan adanya toleransi agar kita bisa memikirkan jalan keluar untuk menghadapi masalah yang menimbulkan frutrasi tersebut. Untuk itu kita kenal dengan apa yang disebut “Windows of Tolerance”.
             Semua manusia memiliki “Windows of Tolerance” di dalam diri manusia, yang ukurannya satu sama lain berbeda-beda. Ada yang “Windows of Tolerance”nya lebar, namun ada pula yang sempit.
            Orang yang memiliki “Windows of Tolerance” nya lebar, dapat mengatur emosinya naik atau turun tanpa mengalami banyak tekanan batin atau stress. Ada pula orang yang memiliki “ Windows of tolerance”nya sempit,  maka orang ini akan mudah naik atau turun emosinya, sehingga sangat labil.
    Pada saat tingkat stress meningkat , ada dua hal yang terjadi :
  • Windows of Tolerance menjadi lebih sempit.
  • Kemampuan kita untuk bergerak di dalam Windows of Tolerance menjadi kurang fleksibel dan kurang akurat (kemampuan mengatur diri).
     Oleh sebab itu , pada saat stres meningkat, adrenalin akan disekresikan , akibatnya control diri dan performance kita akan terpengaruh . Hendaknya kita dapat membuka Windows of Tolerance kita selebar-lebarnya dan berusaha tetap tinggal di dalamnya pada saat mengalami tekanan  atau ada peningkatan stress.

Membangun Karakter :
           Sering orang menganggap pendidikan agama, pendidikan budi pekerti itu adalah membangun karakter, anggapan ini lebih tepat kalau dikatakan mengajarkan atau memberikan pendidikan moral.
           Kata karakter, menurut kamus bahsa Indonesia, diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari orang lain
           Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa sehingga berbentuk unik, menarik dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain.
           Untuk membangun karakter  atau membentuk karakter yang baik, perlu ditanamkan pada anak itu dasar-dasar yang kokoh. Sebagai pilar penunjang kepribadiannya agar kuat sehingga nantinya menjadi manusia yang benar-benar karakter baik.

Dasar-dasar membangun karakter antara lain, adalah : 
  1. Rasa cinta kepada Tuhan YME dan segenap ciptaan-Nya, termasuk cinta kasih terhadap sesama, cinta damai.
  2. Pendidikan yang memadai , formal maupun non formal.
  3. Disiplin terhadap waktu, tempat dan peraturan yang ada.
  4. Percaya diri, adil, mandiri, dapat bertoleransi, baik dan rendah hati.
  5. Siap bekerja keras, pantang menyerah, kreatif, dapat bekerja sama, menolong dan berbagi dengan teman.
  6. Jujur , bertanggung jawab , santun,  hormat pada orang lain, ada kepedulian.
Berdasarkan 6 pilar penyangga ini anak dapat dibangun karakternya sejak dini.
Anak yang tumbuh di lingkungan  orang-orang  berkarakter baik akan memiliki karakter baik pula, hal ini disebabkan oleh teladan atau contoh  yang dilihat dan dialami  sehingga kesemuanya itu  merupakan model bagi anak itu. Anak adalah pengingat terbaik walaupun sering kali menjadi pengambil kesimpulan yang salah atau kurang tepat.
Dalam hal pembentukan karakter, orang tua, sekolah dan komunitaslah yang paling bertanggung jawab. Orang pintar banyak, namun itu belumlah cukup, karena bangsa kita tidak hanya membutuhkan orang pintar saja , tetapi juga orang-orang yang berkarakter baik.

( Disadur dari Pendidikan etika, moral, kepribadian dan pembentukan karakter – Drh. Dwi Yanny Lukitaningsih, M.Psi – Jogja Media Utama tahun 2011)

1 komentar:

  1. terimakasih utk tipsnya gan, yuk kunjungi https://www.uma.ac.id/ kampus terbaik dan nomor satu di sumatera utara.

    BalasHapus