Oleh : Eva Rizkiana
Sepuluh...dua puluh...empat puluh lima ribu rupiah, total uang yang kami dapatkan hari ini. Hasil mengumpulkan sampah. Penghasilan kami memang tak tentu. Tak jarang pula, kami hanya makan nasi dan kerupuk. Meskipun demikian, kami tak pernah berhenti mengucap syukur pada Ilahi.
***
Setiap pagi aku dan Salsa, adikku, selalu berangkat sekolah bersama. Sekolah kami memang berdekatan. Aku bersekolah di SMA DWIJAYA sedangkan Salsa di SDN 1 Pekalongan. Sekolahku merupakan sekolah bertaraf internasional, sebagian besar siswa yang bersekolah di sana adalah anak konglomerat atau pejabat daerah.
Tapi aku, aku bersekolah di sini karena aku mendapatkan beasiswa. Selain beasiswa untuk siswa berprestasi aku juga mendapat bantuan khusus anak yatim. Maka tak jarang aku merasa perlakuan mereka tidak adil kepadaku. Tapi ada satu orang yang sangat peduli kepadaku, yaitu Dimas. Dimas selalu bersikap baik, dia pun tak pernah malu bergaul denganku meskipun aku cuma seorang pemulung sampah. Padahal dia adalah anak dari seorang pengusaha batik sukses di Pekalongan. Hanya dia yang dapat mengerti perasaanku.
Sepulang sekolah, sejenak aku duduk di depan gerbang memandangi teman-temanku satu persatu dan melempar pandangan ke segala arah, mencari sosok gadis kecil (adikku)
“ Kak Niken”, sebuah teriakan yang mengejutkan lamunanku.
“Maaf kak, tadi Salsa dari perpustakaan pinjam buku ini,” jawab Salsa sambil menunjukkan buku tebal yang membahas masalah kesehatan, menjadi seorang dokter adalah cita-cita Salsa, yang selalu membebani pikiranku.
Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 sore, namun belum ada satupun botol atau sampah plastik yang kami kumpulkan . karena itu kami memutuskan berpindah tepat ke pinggiran jalan pantura.
“Sa, kamu jangan kemana mana ya, kamu cari disini saja, biar nanti kakak yang mencari botol-botol plastik di seberang sana,” nasihatku pada gadis kecil itu.
” Iya Kak, Kakak hati-hati ya,” jawab Salsa sambil tersenyum.
Di seberang sana, sesekali aku menengok ke arah Salsa untuk memastikan keadaannya. Matahari sudah mulai tenggelam. Tapi sayang aku tidak mendengarnya. Sampai pada akhirnya aku mendengar jeritan suara benturan dan tak lama kemudian jeritan melengking terdengar dari arah seberang jalan.
“Salsa!!!!”, pekikku.. sesegera mungkin aku berlari ke arah suara adikku. Mataku basah dengan air mata, tubuhku lemas tak berdaya saat mengetahui gadis kecil itu adalah Salsa, adikku. Sosok gadis kecil yang selama ini menjadi penyemangatku, kini ia telah terbujur kaku, kembali padaNya. Ya Allah betapa berat cobaanmu. Hanya Salsa yang aku punya. Dial ah pelita hidupku. Dan kini dia telah kau ambil.
Aku merindukan sosoknya, canda tawanya dan saat-saat ketika aku sedang bersamanya.
Sudah 2 hari ini aku tidak masuk sekolah, aku masih terbawa kesedihan sejak kepergian adiku. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan di dunia ini, tidak ada semangat untuk aku menjalani kehidupan.
“ Jangan bilang begitu, ken. Masih ada aku” tiba-tiba Dimas muncul dari balik pintu.
” Dimas, masih saja kamu peduli dengan aku?” tutur ku.
“Aku kan teman mu, aku tidak mau melihat teman ku yang satu ini terus-terusan sedih”. Aku hanya tersenyum dan terdiam, wajah salsa muncul di bayanganku. Aku teringat dengan almarhun adiku.
“Aku rindu dengan salsa, Dim”, sambungku dengan suara yang begitu lirih dan hampir putus asa.
“Hmm..ya sudah, Ayo kita bersama-sama menengok makam adikmu.” ajak Dimas kepadaku
Tanpa pikir panjang aku langsung menerima ajakan Dimas.
***
Air mataku jatuh, isak tangisku terdengar keras, terbayang wajah salsa. Dimas mencoba menenangkanku dan memeluk tubuhku erat dan mengusap air mata yang terus mengalir dari pelupuk mataku.
“ Aku tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Tapi kamu harus terus mencoba untuk melepaskan kesedihanmu itu. Kamu pasti bisa Niken,” hibur Dimas.
Senyum kian mengembang di wajahku.” Aku pasti bisa melawan kesedihan ini dan membuka lembaran baru untuk masa depanku. Aku tidak boleh terpuruk seperti ini, demi almarhum Salsa dan kedua orang tuaku. Aku ingin mereka bahgia melihat kesuksesanku kelak.” Jawabku optimis.
“ Gitu dong, Gue suka gaya loe” Balas Dimas.
“Makasih ya Dim, berkat kamu aku jadi semangat lagi. Kamu memang temanku yang paling baik.”
“ Tapi aku pengen kita lebih dari ini Ken.”
“ Maksud kamu...?”
“ Iya ken, aku suka sama kamu. Aku sayang kamu, rasa sayangku lebih dari seorang teman.”
Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, agar Dimas tidak berharap lagi padaku. Aku sadar posisiku dan hubungan kami pasti tidak akan direstui oleh kedua orang tua Dimas. Sebelum aku semakin dipermalukan dihadapan orang tuanya, lebih baik aku menghindar, meskipun aku juga menyimpan rasa cinta untuk Dimas.
“ Dim, kamu enggak pulang? ini kan sudah sore,” Tanyaku.
“Kamu kan belum menjawab pertanyaanku tadi.”
“Pertanyaan apa? sudah sana, kamu pulang..Nanti dicariin mama sama papa kamu.” Tuturku sambil menggandeng tangan Dimas.
“ Aku akan menunggu disini sampai kamu mau menjawab pertanyaanku, Ken”
“ Okay, aku akan jawab pertanyaan kamu sekarang. Aku gak bisa nerima cinta kamu Dim. Aku bukan siapa-siapa dan aku hanya mengganggapmu sebatas teman. Aku mohon lupakan aku dan perasaan itu.”
“Ya sudah kalau memang itu keputusanmu. Selamat malam Ken.”
Aku memandang wajah Dimas dan melihat kepergiannya dari gubuk kecilku. Sesekali Dimas menengok kebelakang memandangku. Malam ini, kesepian merengutku. Di dalam gubuk kecil ini aku tinggal sendiri. sekarang aku benar-benar sendiri merasakan betapa pahitnya kehidupan.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar